Perceraian adalah perbuatan yang tidak pernah kita duga dan mungkin kebanyakan orang tidak mengharapkan hal semacam itu bisa terjadi/menimpa padanya, pada dasarnya niat bercerai/pisah muncul karena akumulasi perasaan kesal seseorang yang sudah memuncak yang bermula dari pertengkaran/percekcokan kecil. Jika kita tinjau kembali menurut hukum positif dan agama tidak ada satupun dari semua itu yang menganjurkan untuk bercerai tanpa didasari dengan alasan-alsan yang mendukung.
Belakangan ini perceraian di Indonesia menjadi fenomena baru yang semakin tahun grafiknya terus meningkat dan yang melatar belakangi itu semua berbagai macam alasan dari masalah ekonomi, adanya orang ketiga, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan lain sebagainya. Seperti yang telah di atur dalam pasal 19 PP no 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi sbb:
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
- Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 tersebut diatas adalah alasan-alasan yang sah dan diperbolehkan untuk mengajukan gugatan perceraian, akan tetapi tidak cukup dengan alasan-alasan saja harus dibuktikan dasar alasan-alasan tersebut.