Artikel

Perjanjian Perkawinan

PERJANJIAN PERKAWINAN ATAU PERJANJIAN PRA NIKAH

Pada dasarnya tujuan Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Demikian bunyi ketentuan Pasal 1 Undang-Undang 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, namun belakangan dalam perkawinan sering terjadi perselisihan dan kesalahpahaman antara pasangan suami-istri sehingga solusi terakhir yang dipilih adalah perpisahan/perceraian.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diharapkan seyogyanya pasangan suami-istri memiliki amunusi masing-masing sehingga kedepannya apa yang menjadi pokok permasalahan dapat diminimalisir, dan hal-hal yang tidak diharapkan yaitu perceraian tidak terjadi, dalam hal ini PERJANJIAN PERKAWINAN adalah solusi yang tepat. Perjanjian perkawinan saat ini memang belum terlalu populer dikalangan masyarakat dan sebagian besar masyarakat masih menganggap tidak etis dan pamali. sebab perjanjian perkawinan dianggap tindakan matrialis. Akan tetapi dengan semakin bertambahnya angka perceraian, keinginan orang untuk membuat perjanjian perkawinan semakin banyak, karena biasanya pasangan suami isteri yang bercerai akan meributkan pembagian harta perkawinan. Dengan membuat perjanjian perkawinan, suami isteri mempunyai kesempatan untuk saling terbuka. Mereka dapat berbagi rasa atas keinginan–keinginan yang hendak disepakati tanpa harus merugikan masing-masing pihak. dengan adanya perjanjian perkawinan, hubungan suami isteri akan terasa aman dan jika nantinya terjadi hal-hal yang tidak diharapkan bahkan berujung pada perceraian, maka ada sesuatu yang dapat dijadikan pegangan dan dasar hukum.

  • DASAR HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN

Menurut KUHPerdata dalam Pasal 119 disebutkan bahwa perkawinan pada hakikatnya menyebabkan percampuran dan persatuan harta pasangan menikah, kecuali apabila pasangan menikah tersebut membuat sebuah Perjanjian Perkawinan yang mengatur mengenai pemisahan harta.

Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) bahwa dengan pembuatan Perjanjian Perkawinan calon suami istri dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai ketentuan harta bersama asalkan ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan tata susila atau tata tertib umum. Lebih spesifik, definisi atas Perjanjian Perkawinan disebutkan pada Pasal 29 undang-undang Perkawinan  jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 (“Putusan MK 69/2015”) yang menyebutkan:

“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 tahun 2015 tersebut telah memperluas makna perjanjian perkawinan sehingga perjanjian perkawinan tak lagi dimaknai hanya sebagai perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan (prenuptial agreement), tetapi juga bisa dibuat selama ikatan perkawinan (postnuptial agreement).

  • Mengapa harus membuat Perjanjian Perkawinan?

Perjanjian Perkawinan hakekatnya dibuat bukan semata-mata pasangan suami istri tidak saling percaya, namun lebih dari itu Perjanjian Perkawinan untuk menjaga kepentingan dan menghargai masing-masing pihak, selain itu Perjanjian Perkawinan juga bisa untuk memastikan kalau pasangan anda menikahi bukan karna ada tujuan lain, selain tujuan untuk hidup bersama, bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

  • Perjanjian Perkawinan dalam Perkawinan Muslim (ISLAM)

Sebagai suatu perjanjian yang mengikat antara calon pasangan suami istri dan atau suami istri yang sudah menikah, perjanjian perkawinan juga termasuk kedalam suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesama umat manusia, pada dasarnya para pihak bebas melakukan perbuatan apa saja selama perbuatan tersebut tidak melanggar dan bertentangan dengan syariat Islam, Pembuatan perjanjian perkawinan hukumnya mubah dan/atau dengan kata lain boleh selama tidak melanggar asas-asas perjanjian dalam hukum Islam.

Isi dari perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Selain mengatur mengenai harta, perjanjian perkawinan juga dapat mengatur hal-hal tambahan, seperti mengenai hak dan kewajiban suami istri, pengaturan poligami, hak asuh anak, serta poin-poin perjanjian lainnya yang dikehendaki oleh kedua belah pihak.

  • Perjanjian Perkawinan dalam Perkawinan Non Muslim

Sama halnya dengan apa yang disebutkan diatas, bagi non muslim yang ingin membuat perjanjian perkawinan juga diperbolehkan asalkan dari apa yang akan diperjanjikan tidak melanggar Undang-undang, hukum, agama, dan kepatutan atau kesusilaan.

  • Keuntungan membuat Perjanjian Perkawinan
  1. Melindungi harta kekayaan masing-masing antara para calon suami istri maupun suami istri yang sudah menikah, hal ini juga bisa untuk memastikan pasangan menikah bukan karena harta kekayaan yang dimiliki.
  2. Melindungi kepentingan pasangan suami istri khususnya istri yang menikah secara islam jika nantinya suami berpoligami perjanjian pra nikah/ perjanjian kawin menjamin kehidupan dan harta bersama masing-masing terpisah, dengan perjanjian pra nikah / perjanjian kawin dapat memastikan harta bersama istri tidak tercampur dengan perkawinan yang selanjutnya,dan selanjutnya Masing-masing isteri akan tenang dan hidup terjamin. Jauh dari pertikaian dan perselisihan antar ahli waris.
  3. Membebaskan Anda dari kewajiban ikut membayar utang pasangan Anda. Harta bersama tidak hanya mencakup pengertian harta bergerak dan tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada. Berdasarkan ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan jo. Pasal 121 KUHPerdata, harta bersama juga meliputi semua utang yang dibuat oleh masing-masing suami isteri, baik sebelum perkawinan, setelah bahkan selama perkawinan, bila pasangan memiliki beban hutang. Kemudian apabila menikahi pasangan dengan beban utang yang dan tidak mau bertanggung jawab atas hutangnya, maka perjanjian ini dapat membantu memastikan bahwa hal ini tidak terjadi. Dengan adanya perjanjian ini maka berlakulah prinsip “uang kamu, uang saya juga. Utang kamu, bukan utang saya”.
  4. Menjamin kepentingan usaha. Apabila memiliki usaha bisnis yang dijalankan (baik badan usaha maupun badan hukum), pasangan berhak menikmati keuntungan bahkan dari usaha bisnis yang dapat dianggap sebagai harta bersama perkawinan yang bila terjadi perceraian kekayaan atas usaha bisninya harus dibagi. Termasuk soal keuntungan harta atau bertambahnya harta kekayaan berdua yang timbul dari hasil harta kekayaannya masng-masing. Dengan perjanjian ini akan fleksibel mengatur bila terjadi perceraian atau pernikahan berakhir, pasangan bisa melanjutkan berbisnis atau bermitra dan sebaliknya sesuai kesepakatan yang dibuat.
  5. Menjamin berlangsungnya harta peninggalan keluarga. Dalam pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 menyatakan, harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pada perjanjian pranikah dapat memastikan tidak akan hadiah atau warisan berpindah dan menjamin harta perolehan dari warisan atau hadiah keluarga tetap dalam kekuasaan masing-masing pihak.
  6. Menjamin kondisi finansial setelah perkawinan putus atau berakhir. Sangat bermanfat bagi perempuan yang tidak bekerja, dan saat vonis pengadilan menolak tuntutan nafkah dan biaya pendidikan anak yang diajukan seorang ibu yang memegang hak pengasuhan anak dan lebih memilih menetapkan jumlah biaya hidup dan biaya pendidikan anak berdasarkan pertimbangan keputusan hakim, dalam perjanjian pranikah bisa membicarakan soal ini dengan baik. Misalnya, tinggal pengajuan perjanjian pranikah dan meminta ke hakim untuk memerintahkan suami demi menjalankan kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian ini.
  7. Menjaga hubungan kemitraan dalam political marriage. Bagi kalangan petinggi pemerintahan maupun kalangan high profile investor, seringkali pernikahan dilakukan untuk memperoleh nama baik, membangun hubungan, maupun saling bertukar atribut imateril lainnya yang melekat pada calon besan. Pernikahan politik dilakukan untuk menjaga reputasi maupun memperluas relasi dengan prinsip saling memberikan manfaat antar calon besan. Namun seringkali hubungan kemitraan tersebut kandas dikarenakan munculnya sengketa akibat percampuran kekayaan. Dengan dibuatnya perjanjian perkawinan, para calon besan dapat memperoleh nilai-nilai imateril yang diharapkan atas pernikahan politik tersebut tanpa khawatir terhadap permasalahan yang dipicu oleh harta kekayaan. Perjanjian perkawinan akan melindungi semangat dan cita-cita kemitraan yang diselenggarakan.
  8. Menghindari motivasi perkawinan yang tidak sehat. Dengan dibuatnya Perjanjian Perkawinan maka dapat menghindari niat tidak tulus dari calon pasangan yang ternyata memiliki maksud untuk melunasi hutang-hutang debiturnya melalui kekayaan hasil pernikahan. Janji manis calon pasangan sebelum pernikahan belum tentu seutuhnya benar, dan dalam prakteknya seringkali permasalahan muncul setelah rumah tangga berlangsung. Perjanjian Perkawinan dapat melindungi Anda dari niatan tidak sehat seperti ini, dimana niatan tersebut tidak akan pernah diutarakan oleh calon pasangan Anda sebelumnya.
  • Apa saja materi yang dapat diatur dalam Perjanjian Perkawinan?

Materi yang diatur di dalam perjanjian tergantung pada pihak-pihak calon suami-istri, asal tidak bertentangan dengan hukum, undang-undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan.

Perjanjian perkawinan yang lazim disepakati antara lain berisi harta bawaan dalam perkawinan, utang yang dibawa oleh suami atau istri, dan lain sebagainya. Dalam penerapannya berikut adalah hal-hal yang umumnya diatur dalam perjanjian perkawinan:

  1. Harta bawaan dalam perkawinan, baik harta yang diperoleh dari usaha masing-masing maupun dari hibah, warisan ataupun cuma-cuma yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
  2. Semua hutang dan piutang yang dibawa oleh suami atau istri dalam perkawinan mereka, sehingga tanggung jawab yang dibuat oleh mereka selama perkawinan tetap akan menjadi tanggungan masing-masing atau tanggung jawab keduanya dengan pembatasan tertentu.
  3. Hak istri dalam mengurus harta pribadinya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dan dengan tugas memungut (menikmati) hasil serta pendapatan baik dari pekerjaannya sendiri atau sumber lain
  4. Kewenangan istri dalam mengurus hartanya, agar tidak memerlukan bantuan atau pengalihan kuasa dari suami.
  5. Pencabutan wasiat, serta ketentuan-ketentuan lain yang dapat melindungi kekayaan maupun kelanjutan bisnis masing-masing pihak (dalam hal salah satu/kedua pihak merupakan pemegang saham/pemimpin usaha pada suatu entitas bisnis).

 

  • Kapan Perjanjian Perkawinan harus dibuat?

Dalam Pasal 29 UU Perkawinan disebutkan bahwa Perjanjian Perkawinan merupakan suatu perjanjian yang dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan lebih lanjut dijelaskan bahwa Perjanjian Perkawinan tersebut wajib untuk disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut maka perjanjian perkawinan dibuat pada saat maupun sebelum perkawinan dilangsungkan.

Namun hal tersebut sempat menimbulkan permasalahan terkait kepemilikan tanah dalam pernikahan campuran antara WNI dengan WNA, dimana keduanya tidak sempat membuat Perjanjian Perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan. Tanpa dilakukannya Perjanjian Perkawinan maka harta yang diperoleh setelah perkawinan akan menjadi harta bersama, namun dalam kasus kepemilikan tanah hanya WNI yang dapat diizinkan untuk memiliki tanah dengan status hak milik (Vide: Pasal 21 (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria). Hal ini menyebabkan pasangan yang berkewarganegaraan WNI tidak dapat membeli tanah dengan status hak milik.

Permasalahan tersebut kini telah memperoleh solusi dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015 (“Putusan MK 69/2015”). Dengan adanya Putusan MK 69/2015, maka ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan berubah menjadi sebagai berikut:

(1)  Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2)  Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

(3)  Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.

(4)  Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

Putusan MK 69/2015 ini mengatasi keresahan dari para WNI yang menikah dengan pasangan berbeda kewarganegaraan. Putusan MK 69/2015 memberikan kesempatan bagi pasangan suami istri untuk dapat membuat suatu perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan atau yang biasa dikenal dengan Postnuptial Agreement, selama pasangan tersebut masih terikat di dalam perkawinan yang sah. Perjanjian Perkawinan ini harus disahkan oleh notaris atau pegawai pencatat pernikahan.

Klik link ini untuk anda yang membutuhkan layanan perjanjian perkawinan / perjanjian pra nikah

Perjanjian Perkawinan